FEATURE: Tiga Tahun Mengajukan, Tak Pernah Didengar: Isa Bertahan di Rumah Bocor Bersama Anak-Anaknya

JMNpost.com | Aceh Timur, - Di Dusun Alue Lipah Barat, Desa Buket Bata, Kecamatan Pante Bidari, Aceh Timur, berdiri sebuah gubuk kecil yang tampak seperti menahan diri untuk tidak roboh. Dindingnya dari tepas yang telah menghitam dimakan usia, atapnya dari rumbia yang bolong di sana-sini. Di dalam gubuk itu, Muhammad Isa tinggal bersama istrinya, Lawati, dan tiga anak mereka. di dalamnya, tersembunyi kisah kepedihan, penantian panjang, dan kelelahan hidup yang hanya bisa dipikul dengan pasrah.

Isa bekerja serabutan. Kadang ke ladang, kadang membantu kawannya di bengkel sebagai tukang tambal ban. Tidak ada penghasilan tetap, tidak ada jam kerja pasti. Yang ada hanyalah harapan bahwa hari itu mereka tidak akan tidur dengan perut kosong. Istrinya adalah ibu rumah tangga yang mengurus anak-anak tanpa mengeluh, meski kebutuhan harian sering kali lebih besar daripada uang yang ada di tangan.

Anak pertama mereka baru enam tahun, duduk di kelas satu SD. Namun ia tumbuh besar di bawah atap rumah yang bocor, dinding rapuh, dan ketakutan setiap kali hujan turun.

Hujan bagi anak-anak mereka bukanlah suara yang menenangkan. Hujan adalah tanda bahaya. Isyarat bahwa buku-buku sekolah harus dipindahkan sebelum basah, pakaian harus segera digantung di tempat yang belum terkena tetesan, dan tikar tidur harus dilipat agar tidak lembab sepanjang malam.

Di rumah itu, penderitaan keluarga ini bukan hanya soal rumah yang hampir roboh. Isa sendiri sudah lama mengidap sakit mata. Penglihatannya kabur, sering perih, dan kadang berair tanpa sebab. Ia sudah lama ingin berobat, tetapi biaya ke dokter terlalu besar untuk ukuran penghasilannya yang tak menentu. Dengan kondisi mata yang semakin melemah, ia tetap memaksa bekerja, karena hanya itu cara agar anak-anaknya bisa makan.

“Sakit mata ini sudah lama, tapi untuk berobat saya tidak mampu,” ucap Isa pelan. Matanya memerah, bukan hanya karena penyakit, tetapi juga karena menahan air mata yang hampir jatuh.

Dengan kondisi fisik yang melemah dan rumah yang semakin rusak, beban hidup Isa menjadi dua kali lipat lebih berat. Namun tidak ada pilihan lain selain bertahan.

Puluhan rumah warga miskin di sekelilingnya pun bernasib sama. Semua masuk kategori tidak layak huni. Sebagian sudah tiga tahun mengajukan bantuan perumahan, sebagian lebih lama dari itu. Namun tak satu pun bantuan turun. Warga mengaku telah mendatangi berbagai pihak: pemerintahan desa lama, kecamatan, hingga berharap kabupaten mendengar keluhan mereka. Tapi sampai hari ini, harapan itu seperti berjalan di lorong gelap tanpa ujung.

“Pengajuan rumah layak huni sudah diusulkan oleh pemerintahan desa sebelumnya. Tapi sampai hari ini, tak ada bantuan yang turun,” kata Isa.

“Kami sudah berusaha, namun Allah belum berkehendak,” tambahnya pelan. Kalimat itu terdengar sederhana, tetapi di baliknya tersimpan ratusan malam menunggu sesuatu yang tak pernah datang.

Rumah Isa memiliki lantai tanah di sebagian ruangan. Bila hujan turun, air mengalir masuk dari celah dinding tepas. Anak-anak terpaksa tidur saling berdempetan di sudut ruangan paling kering, sementara Isa sibuk memindahkan ember untuk menampung air. Atap rumbia yang telah lapuk membuat rumah mereka seperti tidak memiliki batas antara dalam dan luar.

“Kasihan anak saya… musim hujan datang, atap bocor, buku sekolah basah, bajunya basah. Sampai-sampai mereka tidak bisa sekolah,” ucap Isa sambil menyeka pipinya.

Di dusun itu, kemiskinan bukan hanya angka. Ia adalah kenyataan yang menghantui setiap langkah, setiap malam, setiap musim. Warga tetap membayar pajak, meski hidup kekurangan. Mereka memegang kewajiban sebagai warga negara, berharap negara juga hadir saat rakyat membutuhkan. Tetapi bagi warga Buket Bata, kehadiran itu seolah jauh, nyaris tak terdengar.

Ada rumah yang lantainya sudah berlubang. Ada yang atapnya hanya bertahan setengah. Ada dinding yang bolong besar sehingga angin malam masuk bebas, membuat anak-anak menggigil. Tidak ada dari mereka yang meminta rumah mewah. Yang mereka inginkan hanya rumah sederhana yang kuat, yang tidak bocor, yang tidak membuat anak-anak sakit.

Warga berharap pemerintah kabupaten, Pemerintah Aceh, hingga pemerintah pusat mau turun melihat langsung kondisi tersebut. Karena ketika dilihat dengan mata kepala sendiri, mungkin barulah semua penderitaan ini terasa nyata, bukan sekadar laporan di atas kertas.

“Kalau pemerintah mau datang melihat, pasti tahu keadaan kami yang sebenarnya,” kata Isa. “Kami hidup begini bukan karena malas. Tapi memang tak punya pilihan lain.”

Menjelang petang, Isa sering duduk di depan rumahnya sambil memandangi anak-anak bermain. Meski hidup berat, ia tetap berusaha memberi ruang bagi tawa mereka. Tetapi di balik tatapan seorang ayah itu, ada harapan yang hampir padam. Ia ingin sembuh dari sakit mata yang sudah lama ia tanggung. Ia ingin rumah yang tidak meneteskan air hujan ke dalam piring makan. Ia ingin masa depan yang lebih baik untuk ketiga anaknya.

Harapan itu sederhana, namun untuk keluarga kecil ini, ia berarti segalanya.

Dan sampai hari ini, Isa masih menunggu bersama puluhan keluarga lain di Buket Bata agar suatu hari nanti, ada pintu bantuan yang benar-benar terbuka. Karena bagi mereka, rumah bukan sekadar bangunan, melainkan satu-satunya perlindungan untuk menyimpan masa depan.

Post a Comment

Previous Post Next Post