Opini:
Ditulis Oleh: Mahdi (Pemerhati Sosial dan Kebijakan)
JMNpost.com | Ada satu hal yang sering kali tidak disadari
oleh para pembuat kebijakan: bahwa gizi tidak bisa diseragamkan seperti
mencetak label di atas kotak susu. Begitu juga dengan program Makan Bergizi
Gratis (MBG) yang kini sedang ramai diperbincangkan. Badan Gizi Nasional (BGN)
dengan sigap membantah tudingan publik tentang kandungan susu MBG yang
disebut-sebut hanya 20 persen. Mereka menjelaskan panjang lebar tentang
protein, karbohidrat, dan kadar lemak yang “setara susu segar.” Tapi sayangnya,
penjelasan itu terasa terlalu ilmiah untuk persoalan yang sebenarnya sangat
manusiawi.
Saya ingin mulai dari pengalaman sederhana: anak saya, setiap kali minum susu kotak — terutama susu olahan instan seperti yang biasa beredar di pasaran selalu mual, bahkan muntah. Bukan sekali dua kali. Saya kira awalnya karena belum terbiasa. Tapi setelah mencoba berbagai merek, hasilnya sama. Artinya, tidak semua anak cocok dengan susu olahan. Jadi ketika susu kotak masuk dalam daftar menu harian MBG, saya bertanya-tanya: apakah negara sedang memberi gizi, atau sedang menguji ketahanan lambung anak-anak sekolah?
Program MBG tentu niatnya mulia. Memberi makan bergizi bagi anak-anak Indonesia adalah cita-cita besar yang harus didukung. Tapi ketika gizi diterjemahkan secara sempit seolah hanya diwakili oleh susu kotak maka kita sedang mengulang kesalahan lama: menyamaratakan kebutuhan tubuh yang berbeda-beda. Anak-anak Indonesia hidup di lingkungan yang beragam, dari pesisir, pegunungan, hingga perkotaan. Sumber gizi mereka pun berbeda. Di beberapa daerah, ikan laut, telur, tempe, atau sayur lokal jauh lebih bernilai gizi dan mudah diserap tubuh dibandingkan susu olahan.
BGN berargumen bahwa susu MBG mengandung 20 persen susu segar plus padatan susu, dan “kandungan gizinya tetap setara.” Tapi bukankah yang paling penting dari gizi bukan sekadar angka, melainkan daya serap tubuh? Tidak ada gunanya susu bergizi tinggi jika tubuh anak menolaknya. Tidak ada artinya protein sempurna jika akhirnya keluar lewat muntahan. Bukankah tujuan program ini adalah membangun generasi sehat, bukan generasi yang dipaksa minum susu karena itu perintah di atas kertas?
Saya tidak sedang menuduh BGN berbohong. Tapi saya ingin mengingatkan bahwa pendekatan saintifik tidak boleh mematikan akal sehat. Menjelaskan angka kandungan lemak dan kalsium tidak cukup tanpa memahami realitas di lapangan. Banyak anak di sekolah, terutama di daerah pedesaan, tidak terbiasa minum susu kotak. Sebagian bahkan mengalami intoleransi laktosa, tapi tidak pernah didata atau diperhitungkan. Kalau BGN mau jujur, survei sederhana di sekolah-sekolah penerima MBG akan menunjukkan bahwa sebagian anak tidak menghabiskan susu mereka, bahkan membuangnya diam-diam.
Lalu apa gunanya gizi kalau hanya jadi simbol proyek?
Presiden Prabowo memang menginginkan bahan baku lokal dan
kandungan susu segar dalam negeri. Itu niat baik. Tapi niat baik tidak boleh
diterjemahkan secara terburu-buru. Jika produksi susu segar baru mencukupi 20
persen kebutuhan nasional, mengapa harus memaksakan susu kotak sebagai menu
wajib? Bukankah lebih baik fokus pada bahan pangan lokal yang mudah diperoleh,
disukai anak, dan terbukti bergizi? Ikan kembung, telur ayam kampung, tempe,
tahu, sayur hijau, itu semua sumber protein dan kalsium alami yang lebih murah,
segar, dan diterima lidah anak Indonesia.
BGN seharusnya meninjau ulang kebijakan susu MBG. Jangan
jadikan susu sebagai simbol moral dari program bergizi. Karena gizi itu soal
kebutuhan tubuh, bukan gengsi kebijakan. Negara tidak perlu tampil modern
dengan memaksa anak-anak memegang kotak susu demi pencitraan gizi nasional.
Justru kemajuan gizi itu lahir dari kemampuan memahami keanekaragaman tubuh dan
budaya makan rakyatnya.
Susu kotak bukanlah musuh. Tapi menjadikannya menu wajib
untuk semua anak jelas keliru. Karena tidak semua tubuh bersahabat dengan
laktosa. Tidak semua anak punya perut sekuat laboratorium BGN. Dan tidak semua
kebijakan gizi harus disajikan dalam bentuk cairan putih di dalam karton.
Kalau benar negara ingin mendidik anak-anak sehat, biarlah mereka mengenal gizi dari dapur sendiri dari telur rebus, ikan goreng, dan sayur bening yang disajikan hangat oleh tangan ibu-ibu kantin sekolah. Itu jauh lebih bergizi daripada sekadar meneguk susu yang membuat sebagian anak mual dan akhirnya muntah.

Post a Comment