Di Balik Sorotan, Ada Dosa yang Menunggu Waktu Terungkap



Opini : Ditulis Oleh Mahdi (Pemerhati Sosial dan Kebijakan)

JMN : Di negeri yang segala halnya bisa dijadikan konten, pejabat kini tak lagi cukup bekerja. Ia harus terlihat bekerja. Kamera menjadi alat ukur moral, bukan lagi nurani. Maka lahirlah generasi pejabat digital yang lebih rajin mengatur angle kamera daripada arah kebijakan.


Kita menyaksikan bagaimana seorang pejabat tampil gagah di media sosial, menegur bawahan di depan umum, memeriksa fasilitas publik, lalu viral dengan pujian: “Inilah pejabat yang berani.” Semua tampak rapi, emosional, dan heroik. Tapi publik sering lupa bahwa kejujuran tidak bisa disunting, dan kebenaran tidak bisa diatur pencahayaannya.


Hari ini ia tampak tegas di depan kamera. Tapi publik juga belum lupa bahwa masa lalu politik selalu meninggalkan jejak. Ada kisah tentang program bantuan pendidikan yang dulu diumumkan dengan megah, tapi kemudian meninggalkan tanda tanya. Siapa sebenarnya penerima bantuan itu, dan mengapa begitu banyak nama tak dikenal di antara daftar yang seharusnya terbuka?


Kita tidak bicara soal hukum, tapi soal etika kekuasaan. Soal bagaimana publikasi bisa mengaburkan akuntabilitas. Soal bagaimana seorang pejabat yang pernah menjadi bagian dari kekuasaan lalu menampilkan dirinya sebagai pengawas kebijakan, seolah tak pernah terlibat dalam sistem yang ia kritik hari ini.


Ia terlihat hebat sekarang viral, penuh semangat reformis. Tapi sejarah di negeri ini sering punya selera humor yang pahit: yang dulu tampak bersih bisa tiba-tiba kotor, bukan karena berubah, tapi karena cahayanya bergeser. Hari ini ia terkenal karena keberaniannya menegur; esok bisa lebih terkenal karena sesuatu yang selama ini disembunyikan — entah soal uang, proyek, atau bahkan isu beasiswa yang belum terungkap sepenuhnya.


Sorotan kamera bisa menjadi alat transparansi, tapi bisa juga menjadi topeng. Kalau pejabat benar-benar ingin membangun kepercayaan, tunjukkan hasil, bukan drama. Publik lebih menghargai satu laporan kerja yang jujur daripada seribu video dengan narasi “tegas dan berani.”


Karena pejabat sejati tidak butuh kamera untuk membuktikan dirinya. Ia hanya butuh nurani. Dan kalau nanti waktu yang membongkar, ia tak perlu takut kehilangan citra, sebab kebenaran tidak pernah butuh pencitraan.

Post a Comment

Previous Post Next Post