Oleh: Jufri Zainuddin
Dua dekade sudah berlalu sejak penandatanganan Memorandum of Understanding (MoU) Helsinki pada 15 Agustus 2005, peristiwa bersejarah yang menandai berakhirnya konflik panjang antara Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dan Pemerintah Indonesia. Aceh kini dikenal sebagai daerah yang damai, dengan pembangunan yang tampak di berbagai sudut. Jalan-jalan beraspal mulus, gedung pemerintahan berdiri megah, dan aktivitas ekonomi terus menggeliat.
Namun, di balik wajah modern dan tenangnya kehidupan sehari-hari, masih tersimpan luka yang belum sepenuhnya sembuh.
“Damai memang datang, tapi trauma masih tinggal,” ucap Fatimah, seorang ibu korban konflik di Pidie, dengan suara pelan. Ia masih mengingat jelas malam ketika suaminya dibawa pergi oleh pasukan bersenjata dan tak pernah kembali.
Refleksi dua puluh tahun perdamaian ini membuka ruang untuk bertanya kembali: apakah keadilan benar-benar telah dirasakan oleh seluruh masyarakat Aceh?
Ketimpangan di Tengah Pembangunan Pemerintah Aceh gencar membangun infrastruktur dan meningkatkan investasi. Namun, di sisi lain, kesenjangan ekonomi masih menganga. Sektor-sektor produktif, seperti perkebunan dan perikanan, belum sepenuhnya mengangkat kesejahteraan masyarakat pedesaan.
“Pembangunan pesat, tapi siapa yang menikmati hasilnya?” tanya Irwandi, seorang aktivis muda di Banda Aceh. Ia menyoroti bahwa sebagian besar keuntungan masih berputar di kalangan elit politik dan pengusaha besar, sementara masyarakat kecil belum benar-benar merasakan manfaat perdamaian yang dijanjikan.
Syariat dan Realitas Sosial Sejak diberlakukannya Qanun Syariat Islam, Aceh memiliki sistem hukum yang berbeda dari daerah lain di Indonesia. Qanun menjadi identitas, tetapi juga menyisakan perdebatan panjang, terutama soal posisi perempuan di ruang publik.
Sejumlah lembaga perempuan mencatat, meski secara formal Aceh menjunjung tinggi nilai keislaman, namun praktik patriarki masih kuat mencengkeram. Banyak perempuan yang kesulitan mendapatkan akses keadilan, terutama dalam kasus kekerasan domestik dan pelanggaran hak ekonomi.
“Perempuan masih sering dibungkam atas nama adat dan agama,” ujar Nuraini, pegiat isu gender dari Lhokseumawe.
Perdamaian yang Harus Terus Dirawat Dua puluh tahun bukan waktu yang singkat. Banyak hal telah berubah, tetapi pekerjaan rumah Aceh masih panjang. Tantangan kini bukan lagi perang bersenjata, melainkan perang melawan ketimpangan, kemiskinan, dan kealpaan terhadap sejarah.
Perdamaian sejati bukan sekadar tidak adanya konflik, melainkan hadirnya keadilan sosial bagi semua.
“Mari kita refleksikan kembali: apakah perdamaian ini sudah benar-benar milik semua orang Aceh?”
Aceh telah membuktikan bahwa perdamaian bisa dicapai melalui dialog dan tekad bersama. Kini, tantangannya adalah memastikan bahwa damai tidak hanya menjadi kenangan perjanjian di atas kertas, tetapi menjadi napas kehidupan yang adil, setara, dan bermartabat bagi seluruh rakyatnya

Post a Comment