JMNpost.com | Aceh Utara – Polemik biaya pendaftaran calon geuchik sebesar Rp7 juta di Gampong Simpang Tiga, Kecamatan Langkahan, Aceh Utara, semakin melebar. Jika sebelumnya hanya ramai diprotes warga, kini isu ini juga viral di media sosial TikTok setelah unggahan berita JMNpost.com berjudul “Simpang Tiga Heboh, Suami-Istri Kompak Nyalon Geuchik” disebarkan melalui akun Fahmi Jaya.
Video tangkapan layar berita tersebut telah menyedot perhatian publik dengan angka yang mencengangkan. Hingga Senin (8/9/2025), unggahan itu sudah ditonton lebih dari 105,5 ribu kali, mendapat 921 tanda suka, 81 kali disimpan sebagai favorit, dan dihujani 231 komentar dari warganet.
Mayoritas komentar bernada hujatan dan sindiran pedas, baik terhadap panitia Pilchiksung maupun pasangan calon suami-istri yang nekat maju meski biaya pendaftaran dianggap sangat memberatkan.
“Ini bukan demokrasi, tapi bisnis keluarga,” tulis salah seorang netizen.
“Modal nyalon 7 juta? Ini mah kayak daftar proyek, bukan jadi geuchik,” sindir lainnya.
Bahkan ada komentar satir yang mengundang tawa sekaligus geram: “Kalah satu, menang sekeluarga. Demokrasi rasa arisan!”
Fenomena viral ini menunjukkan bahwa persoalan Pilchiksung Rp7 juta tidak lagi sekadar isu internal gampong. Sorotan publik di jagat maya menandakan keresahan masyarakat lebih luas terhadap praktik-praktik yang dianggap mencederai demokrasi di tingkat desa.
Warga sebelumnya sudah menilai kebijakan pungutan Rp7 juta tidak memiliki dasar hukum yang kuat. Mereka mengacu pada UU Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa serta Permendagri Nomor 112 Tahun 2014 yang menegaskan biaya pemilihan kepala desa seharusnya dibebankan pada APBD kabupaten/kota, bukan pada peserta. Perbup Aceh Utara Nomor 6 Tahun 2023 juga tidak memuat aturan pungutan pendaftaran calon geuchik.
Gelombang kritik pun kian menguat, terutama setelah publik tahu bahwa hingga saat ini hanya ada satu pasangan yang mendaftar, yakni suami-istri. Situasi ini semakin memicu dugaan adanya upaya sistematis untuk menjegal calon lain dengan membebankan biaya tinggi.
“Kalau dibiarkan, demokrasi di tingkat desa akan mati perlahan. Masyarakat kecil yang ingin maju tidak akan pernah punya kesempatan,” ucap seorang warga dalam keterangannya.
Dengan viralnya kasus ini, publik kini menunggu langkah tegas pemerintah daerah, apakah akan tetap membiarkan Pilchiksung Rp7 juta berjalan, atau justru turun tangan membatalkan dan membuka pendaftaran ulang tanpa biaya yang memberatkan.
Post a Comment