Keluarga Penjual Ditekan Jangan Tanda Tangan, Publik Desak Polisi Bertindak

JMNpost.com | Aceh Timur, - Mediasi sengketa tanah di Gampong Buket Tualang, Kecamatan Darul Aman, kembali memanas. Padahal tanah yang dipersoalkan merupakan hasil jual-beli antar saudara dalam satu keluarga. Namun, imam gampong dan sejumlah aparatur desa tetap menekan keluarga penjual untuk membatalkan transaksi.

Tanah tersebut awalnya dijual oleh Rusli, warga Indra Makmu, pada hari ke-44 wafatnya Amiruddin, warga Bagok Panah Lhee, yang merupakan saudaranya. Penjualan dilakukan untuk melunasi utang almarhum. Saipul, saudara mereka yang tinggal di Seuneubok Aceh, menjadi pembeli dengan harga Rp 5 juta per rante — lebih tinggi dari tawaran awal warga setempat yang hanya Rp 3,5–4 juta per rante.

Mediasi pertama digelar di meunasah gampong pada 4 September 2025. Mediasi kedua dilaksanakan di kantor camat Darul Aman pada 17 September 2025. Anehnya, dalam dua kali mediasi itu, Saipul sebagai pembeli sah tidak pernah diundang. Hanya pihak keluarga penjual yang dipanggil, sehingga Saipul tidak bisa menyampaikan pendapat atau membela haknya di hadapan aparatur gampong.

Pihak gampong yang hadir cukup lengkap: keuchik, imam gampong, tuha peut, sekdes, bendahara, dan imam mukim. Imam mukim awalnya berbicara netral tanpa memihak, namun setelah mengetahui duduk perkara, ia memilih diam. Sebaliknya, keuchik, imam gampong, tuha peut, sekdes, dan bendahara terlihat kompak menekan pihak penjual agar membatalkan transaksi.

Bahkan, dalam forum itu imam gampong mengeluarkan pernyataan yang dianggap sebagai ancaman.
"Kalau masyarakat turun ke kantor camat dan membuat ricuh, siapa yang bertanggung jawab? Dan kalau tanah itu tetap jadi milik Saipul, lalu terjadi ricuh dengan warga, siapa yang akan bertanggung jawab?" ujarnya di hadapan peserta mediasi.

Keluarga penjual mengaku diminta secara kompak oleh aparatur gampong agar tidak menandatangani dokumen jual-beli ketika Saipul mengurus surat. “Kami diminta jangan tanda tangan. Semua kompak menjawab begitu,” ujar perwakilan keluarga.

Menariknya, dalam mediasi di kantor camat, pihak gampong akhirnya menyatakan kesanggupan membeli tanah tersebut dengan harga Rp 5 juta per rante — harga yang sama dengan yang dibayar Saipul. Hal ini menunjukkan bahwa keberatan mereka bukan lagi soal harga, melainkan soal siapa yang berhak memiliki lahan tersebut.

Saipul yang tidak pernah diundang ke mediasi menilai kasus ini bukan sengketa resmi, melainkan upaya sekelompok warga untuk memaksakan kehendak. “Saya sudah beli sah dan bayar lunas. Tapi saya dihalangi melalui keluarga penjual agar dokumen saya tidak bisa ditandatangani. Saya minta polisi segera bertindak,” kata Saipul.

Ia juga mengungkap bahwa setelah membeli tanah, ia mengerahkan empat pekerja untuk membersihkan lahan. Namun sekitar sepuluh orang, termasuk imam gampong, datang menghalangi. Ancaman kericuhan di kantor camat bahkan membuat keluarga penjual merasa keselamatannya terancam.

Publik menilai kasus ini perlu ditangani serius agar tidak menjadi preseden buruk di Aceh Timur. Jika dibiarkan, transaksi sah antar keluarga bisa dibatalkan hanya karena tekanan kelompok tertentu. Polres Aceh Timur diharapkan segera memanggil pihak-pihak yang terlibat, termasuk imam gampong, untuk dimintai keterangan terkait dugaan intimidasi dan memberikan perlindungan hukum bagi pembeli dan keluarga penjual.

Post a Comment

Previous Post Next Post