Ditulis Oleh: Boy Abdaz (Pemerhati Sosial Kemasyarakatan)
Dua bulan terakhir, Indonesia mulai berbenah sebagai respon atas maraknya demontrasi di berbagai wilayah yang menuntut reformasi kinerja Polri dan pembubaran DPR RI yang dianggap sebagai pemicu berbagai ketimpangan yang menghalangi rakyat untuk mendapatkan hak dasar mereka untuk hidup yang lebih layak.
Kemudian berbagai ketimpangan lainnya muncul, fasilitas pejabat yang fantastis, sistem dikendalikan untuk menguntungkan para pejabat, pengusaha yang selalu mendapatkan karpet merah sampai kepala daerah yang membuat anggaran semena-mena.
Padahal semua anggaran itu dari pajak rakyat. Tragisnya tidak cukup segitu, mereka masih korupsi!
Ketika Purbaya Yudhi Sadewa diangkat menjadai Menteri Keuangan kita kembali melihat ketimpangan lainnya yang cukup parah. Pejabat yang digaji dan dibiayai dari pajak rakyat dengan fasilitas mewah justru mereka mengakali pajak, tidak bayar pajak atau dibayarkan pajak mereka oleh negara. Sementara rakyat, dari buruh kasar sampai makan cemilan sudah include pajak di sana, otomatis bayar pajak.
Badan Usaha Milik Negara (BUMN) atau korporasi yang bermitra dengan negara lain lagi ceritanya. Di bagian sumber daya alam mereka hanya melihat potensi tanpa memperhatikan habitat dan hak-hak dasar masyarakat. Melihat keuntungan tanpa menghiraukan dampak yang bisa muncul dan memperburuk ekosistem.
Ketika mengikuti perkembangan nasional di medsos, minggu lalu, menemukan postingan seorang ulama muda di Aceh Timur, beliau adalah pimpinan sebuah pesantren.
Pesannya singkat, sederhana tapi nyesek. Beliau mengungkapkan sebuah harapan; “Hawa lôn, ie PDAM beutrok dalam Dayah, mungkin keinginan lon nyan agak susah, terkendala jarak antara dayah dengan PDAM 400 meter.” (Saya punya sebuah harapan, suatu saat PDAM bisa mengairi Dayah. Mungkin keinginan saya agak susah, terkendala jarak antara dayah dengan PDAM 400 meter).
Beliau tidak berlebihan, Dayah Asaasul Huda yang beliau pimpin hanya terpaut sekitar 400 – 500 meter dari pusat beroperasinya BUMD atau Perumda PDAM Tirta Peusada Kabupaten Aceh Timur. Masih di satu ruas jalan tanggul yang membentengi Gampong Meunasah Tunong Kecamatan Pante Bidari dari abrasi sungai.
Bedanya hanya dayah letaknya sebelah kiri jalan dan PDAM di sebelah kanan. Bahkan jika dihitung dari akses pipa induk distribusi yang tertanam di sepanjang jalan kecamatan Pante Bidari hanya terpaut 300an meter.
Dayah Asaasul Huda Meunasah Tunong yang berdiri sejak tahun 2016 saat ini menampung hampir 700 santri yang menetap. Secara marketing, PDAM Tirta Peusada mempunyai target pasar dengan tagihan rata-rata 20an juta perbulan jika asumsi per kepala memakai air setara Rp. 35.000/bulan (hitungan PDAM Tirta Mon Pase Aceh Utara rata-rata Rp.40.000/kepala/bulan).
Namun pasifnya PDAM Tirta Peusada dalam konteks ini mungkin sedang menganalisa formulasi yang tepat untuk Lembaga keagamaan yang sejatinya menjadi perhatian khusus perusahaan, apalagi mengingat secara letaknya, dayah ini masih dalam wilayah yang menjadi tanggung jawab sosial perusahaan. Perusahaan diwajibkan menyalurkan dana (termasuk pembangunan fasilitas sosial) dari kewajiban Corporate Social Responsibility (CSR) yang merupakan komitmen perusahaan untuk meningkatkan kesejahteraan komunitas melalui praktik bisnis yang baik dan mengkontribusikan sebagian sumber daya perusahaan kepada masyarakat sekitar sesuai yang diatur undang-undang.
Di sisi lain, situasinya bahkan lebih miris. Masyarakat Gampong Meunasah Tunong sejak 2021 telah mengambil inisiatif untuk mendirikan masjid yang diberi nama Masjid An-Nur yang terlatak pinggir jalan kecamatan dan hanya dibatasi sebuah lorong dengan Kantor Camat Pante Bidari untuk tidak mengatakan di samping kantor Camat.
Saat ini para jamaah sudah mulai dapat beaktifitas ibadah di masjid meskipun masih dalam kondisi yang terbatas, tanpa lantai keramik, dinding bata telanjang, tanpa jendela dan plafon.
Masjid An-Nur yang masih megap-megap mengejar tuntan pembangunan berkelanjutan, saat ini bahkan terbeban dengan tagihan pemakaian air PDAM yang biasanya tertunggak sampai 3 bulan. Ini dikeluhkan oleh Panitia, artinya bebannya terasa.
Dapat dimaklumi karena bangunan masjid masih menuntut banyak fasilitas yang harus dibangun.
Seorang Panitia Masjid curhat, PDAM Tirta Peusada beroperasi di Gampong Meunasah Tunong, airnya diambil dari sungai yang juga terletak di sepanjang batas Selatan Meunasah Tunong, pipa distribusi di tanam di sepanjang jalan yang membelah Gampong Meunasah Tunong, ketika terjadi kebocoran pipa yang dibongkar juga jalan di Meunasah Tunong. Tapi ketika masjid pakai air, itu juga dibayar oleh masyarakat Meunasah Tunong. Jadi Meunasah Tunong dapat apa?
Ditutup dengan pertanyaan yang mengundang nalar.
Perumda PDAM Tirta Peusada ketika awal-awal beroperasi sempat menyediakan fasilitas akses gratis untuk masyarakat dengan membangun fasilitas tanki air yang dilengkapi dengan kran. Masyarakat sekitar dapat mengambil air secara gratis. Ada tiga tanki; di dekat komplek yang berjarak sekira 50 meter dari perusahaan, di sekitar perumahan warga, berjarak sekira 100an meter dari perusahaan dan di Meunasah Gampong Meunasah Tunong.
Namun saat ini ketiga fasilitas tersebut hampir tanpa jejak kecuali yang di dekat komplek perusahaan, namun kondisinya tak terawat dan jarang dipakai.
Padahal sejatinya semakin lama PDAM beroperasi tentu pelanggan akan terus bertambah dan itu artinya keuntungan perusahaan juga meningkat, tapi malah tanggung jawab sosialnya semakin berkurang.
Perumda secara pelan harus mengubah orientasi seiring perkembangan di level nasional. Jangan melihat sumber daya hanya sebatas keuntungan tapi abai terhadap kondisi sosial dan lingkungan. Kondisi ini tak ubahnya sebuah fantasi bagi masyarakat, mereka memilikinya namun tidak bisa mengambil manfaatnya.
Padahal, ketika PDAM Tirta Peusada dibangun, tentu ada bagian sungai yang dibuat dangkal, ditimbun untuk mengatur konsentrasi air. Dan akibatnya dinding sungai di arah berlawanan berpotensi terjadi abrasi. Secara perusahaan itu telah dianalisa sedari awal dan masuk ke dokumen amdal. Tapi pernahkan kepemimpinan Tirta Peusada memperhatikan sampai sejauh itu? Jika makna Peusada (Aceh) adalah membuat orang sadar, maka manajemen Tirta Peusada sudah saatnya melihat ke dalam.
Harapan besar masyarakat, tentu saja, kedua lembaga keagamaan yang muncul dalam tulisan ini sejatinya dibebaskan dari tagihan bulanan beban pamakaian air.
Segmennya jelas, masyarakat lingkar perusahaan yang masih menjadi tanggung jawab sosial perusahaan. Dan ada ratusan anak negeri yang belajar agama sebagai kesinambungan syiar-syiar agama yang akan mereka gaungkan ke depan, sebagai identitas Aceh Timur, tanoh putroe Nurul Akla.
Pemerintah Daerah, Bapak Bupati Aceh Timur seyogianya dapat menjembatani harapan besar ini selaku pimpinan daerah sebagai pemegang kekuasaan tertinggi di Perumda Aceh Timur. Kebijakan ini akan menjadi ibadah pemimpin Aceh Timur yang akan mendapatkan ganjaran dari Allah SWT di yaumil akhir.
Post a Comment