Jawabannya pahit. Merdeka yang diimpikan para pendiri bangsa tidak pernah sepenuhnya turun ke bumi rakyat. Kita memang merdeka dari penjajahan Belanda, tapi kita belum merdeka dari jerat kemiskinan, ketidakadilan, dan kebijakan negara yang seringkali lebih tajam menghantam rakyat ketimbang melindungi mereka.
Cobalah tengok kondisi ekonomi hari ini. Harga bahan pokok terus naik melambung, upah rakyat tak sebanding dengan biaya hidup. Pengangguran meningkat, sementara lapangan kerja justru diberikan kepada tenaga asing. Ironis, rakyat hanya menjadi penonton di negeri sendiri. Di ladang subur yang seharusnya menjadi sumber kesejahteraan, justru tumbuh rasa frustasi.
Kekayaan alam Indonesia seakan tak ada habisnya: emas, batubara, minyak, gas, sawit, hingga laut yang luas. Namun siapa yang menikmatinya? Rakyat kecil tetap mengantre bantuan beras, sementara pejabat dan korporasi besar berpesta dengan hasil bumi. Sumber daya alam dikuras habis, rakyat ditinggalkan dengan janji kosong, dan korupsi berjamaah menjadi tradisi yang seolah tak pernah bisa diputus.
Merdeka juga berarti akses pendidikan, kesehatan, dan kehidupan layak bagi seluruh rakyat. Namun kenyataan di lapangan justru sebaliknya. Sekolah semakin mahal, layanan kesehatan penuh birokrasi, dan berbagai kebijakan negara kerap menghantam rakyat miskin. Rekening warga yang jarang digunakan bisa diblokir oleh PPTK, tanah yang tak digarap dua tahun bisa diambil alih negara. Apakah ini wajah merdeka yang kita banggakan? Atau justru sebuah bentuk perampasan yang dilegalkan oleh aturan?
Lihat pula kondisi perusahaan pelat merah kita. Pertamina, PLN, Garuda Indonesia, hingga sejumlah BUMN lain terus mencatat kerugian. Padahal rakyat sudah membayar penuh—BBM di SPBU tidak gratis, listrik wajib dilunasi tepat waktu, tiket pesawat dibeli dengan uang tunai. Mengapa justru BUMN merugi? Ke mana larinya uang rakyat? Pertanyaan itu menggantung tanpa jawaban memuaskan.
Kenyataan ini mempertegas bahwa yang merdeka hanyalah elit politik, pejabat, dan segelintir orang yang punya akses pada kekuasaan. Sementara rakyat kecil, delapan puluh tahun pasca proklamasi, masih terjebak dalam lingkaran penderitaan. Upacara kemerdekaan tiap tahun terasa seperti panggung sandiwara: bendera dikibarkan, pidato dibacakan, tapi di balik itu rakyat tetap miskin, tetap menjerit, tetap sengsara.
Apakah arti merdeka hanya sebatas simbol dan seremoni? Jika jawabannya iya, maka bangsa ini sedang mengkhianati cita-cita para pendiri republik. Mereka berjuang agar rakyat bisa berdiri tegak, hidup bermartabat, dan terbebas dari penindasan. Namun kini, setelah 80 tahun, justru rakyat kembali tertindas, bukan oleh kolonial, melainkan oleh kebijakan negara yang semestinya melindungi mereka.
Merdeka seharusnya berarti adil. Merdeka seharusnya berarti rakyat bisa makan dengan layak, anak-anak bisa sekolah tanpa takut putus, dan petani bisa menggarap tanah tanpa was-was dirampas aturan. Tapi realita hari ini masih jauh panggang dari api.
Refleksi 80 tahun Indonesia merdeka seharusnya membuat kita semua jujur: bangsa ini belum benar-benar merdeka. Bendera Merah Putih memang berkibar di setiap sudut negeri, namun perut rakyat masih lapar, hak rakyat masih terpinggirkan, dan kesejahteraan masih sebatas janji yang terus diulang-ulang tanpa pernah jadi kenyataan.
Jika kondisi ini dibiarkan, maka peringatan kemerdekaan tiap tahun hanya akan menjadi ritual hampa. Meriah di panggung, tapi getir di hati rakyat. Kemerdekaan yang kita rayakan hanyalah milik pejabat, bukan milik rakyat.
Penulis: Arif Firdaus, S.I.Kom
Alumni Ilmu Komunikasi Universitas Syiah Kuala dan wartawan JMNpost.com
Post a Comment