Jangan Samakan Guru dengan Pejabat, Zakat dengan Pajak

JMNPost.com | Ada pernyataan yang kerap melukai hati rakyat, khususnya para guru: guru disebut sebagai “beban negara.” Pernyataan ini tidak hanya keliru, tetapi juga menunjukkan cara pandang sempit terhadap profesi yang menjadi garda terdepan pembangunan bangsa.

Guru bukanlah pejabat negara yang menikmati rumah dinas, mobil dinas, dan berbagai tunjangan mewah. Mereka justru mendidik generasi penerus dengan dedikasi tinggi, sering kali berkorban lebih banyak daripada yang mereka terima. Data menunjukkan, 74,3 persen guru honorer digaji di bawah Rp 2 juta per bulan, bahkan 20,5 persen di antaranya hanya menerima kurang dari Rp 500 ribu. Rata-rata gaji guru honorer di SD sekitar Rp 1,2 juta, di SMP Rp 1,9 juta, dan di SMA Rp 2,7 juta — jauh dari layak untuk profesi sebesar ini.

Ironisnya, ada pejabat negara yang terseret kasus korupsi bernilai triliunan rupiah, sementara guru masih berjuang untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Membandingkan guru dengan pejabat jelas tidak adil. Jika pejabat bisa hidup berlimpah fasilitas, guru bahkan harus merogoh kantong sendiri untuk membeli kapur, spidol, atau buku bagi muridnya.

Hal yang sama berlaku dalam membandingkan zakat dan pajak. Zakat adalah ibadah suci yang mengalirkan keberkahan bagi pemberi dan penerima. Zakat tidak pernah menjelma menjadi mobil mewah atau rekening gendut. 

Pajak sejatinya adalah sumber pembangunan negara, tetapi kerap menjadi sorotan karena penggunaannya tidak transparan. Kasus mega-korupsi Pertamina yang merugikan negara Rp 193,7 triliun dan skandal pengadaan Chromebook senilai Rp 9,9 triliun hanyalah sebagian contoh penyalahgunaan uang rakyat.

Sejarah memberi pelajaran berharga. Setelah Jepang merdeka, para pemimpinnya tidak bertanya tentang berapa banyak pajak yang berhasil dikumpulkan, tetapi “di mana guru?” Mereka sadar, maju tidaknya bangsa bergantung pada kualitas pendidiknya,  bukan pada fasilitas pejabat, bukan pula pada tumpukan pajak.

Sayangnya di negeri ini, guru kerap menjadi sasaran sindiran. Mengajar tegas sedikit dianggap melanggar HAM, dan jika siswa gagal, gurulah yang disalahkan. Padahal tanpa guru, pejabat pun tak akan pernah bisa membaca teks sumpah jabatan.

Sudah saatnya bangsa ini mengembalikan penghormatan kepada guru. Pemerintah perlu memastikan kesejahteraan guru honorer melalui percepatan sertifikasi, penetapan standar gaji minimum, dan jaminan sosial yang layak. Di sisi lain, tata kelola pajak harus direformasi agar benar-benar berpihak kepada rakyat dan terbebas dari praktik korupsi.

Guru bukanlah beban negara, mereka adalah cahaya yang menerangi jalan bangsa. Jangan samakan guru dengan pejabat, jangan samakan zakat dengan pajak. Jika ada pejabat yang berani menyebut guru beban negara, sejatinya ia sedang mencerminkan kegagalannya sendiri sebagai pelayan publik.

Oleh : Juni Ahyar, S.Pd., M.Pd (Akademisi, Pemerhati Pendidikan dan Bahasa)

Post a Comment

Previous Post Next Post