HUT RI ke-80 di Madat Berlangsung Janggal: Proklamasi Tak Dibacakan, Anggota DPR Menghilang

JMNpost.com | Aceh Timur Upacara Hari Ulang Tahun Republik Indonesia (HUT RI) ke-80 di Kecamatan Madat, Aceh Timur, Minggu (17/8/2025), berubah menjadi potret ironi kemerdekaan. Di tengah gegap gempita bangsa merayakan hari bersejarah, masyarakat Madat justru disuguhi upacara tanpa pembacaan teks Proklamasi—inti dari seluruh rangkaian peringatan.

Upacara yang digelar di lapangan bola kaki Madat memang tampak meriah. Unsur Muspika, ASN, keuchik, perangkat desa, pendamping desa, pendamping PKH, tokoh masyarakat, imum mukim, dan ratusan siswa hadir. Namun kemeriahan itu kehilangan makna ketika teks Proklamasi, yang seharusnya menjadi penegas jiwa kemerdekaan, tidak dibacakan.

“Karena tidak ada anggota dewan yang hadir saat upacara, jadi teks Proklamasi ditiadakan,” ujar Azhar, mantan Ketua Forum Keuchik, penuh kecewa.

Kekecewaan publik semakin dalam karena tiga anggota DPRK Aceh Timur dari dapil Madat, masing-masing dari Partai PKB, Gerindra, dan NasDem, sama sekali tidak hadir. Padahal, mereka terpilih untuk mewakili rakyat Madat, namun absen di hari paling sakral republik.

“Ketidakhadiran tiga anggota dewan pada acara peringatan HUT RI ini benar-benar memalukan. Bagaimana rakyat bisa percaya kepada wakilnya, jika di hari kemerdekaan saja mereka memilih tak hadir?” sindir Rais, tokoh pemuda Madat.

Saat dikonfirmasi, anggota DPRK dari Partai Gerindra, Tgk Muhammad Abdul Samad, berkilah bahwa dirinya tidak mendapat undangan resmi. “Saya tidak ada undangan,” katanya singkat.

Namun bantahan itu segera dimentahkan oleh Pj Camat Madat, Marzuki. Ia memastikan seluruh anggota dewan sudah diundang. “Semua anggota dewan ada kita undang. Karena tidak satupun yang hadir, teks Proklamasi dibacakan oleh seorang guru,” jelasnya.

Perbedaan keterangan ini menimbulkan pertanyaan publik: apakah benar masalahnya ada di undangan, atau memang ada sikap abai dari para wakil rakyat terhadap acara yang seharusnya menjadi simbol kebersamaan dengan rakyat?

Lebih jauh, absennya tiga anggota dewan menyingkap wajah asli politik: ketika rakyat berkeringat di bawah terik matahari mengikuti upacara, justru para elit yang dipilih untuk “menyuarakan kepentingan rakyat” memilih entah berada di mana. Ironi ini menggores hati masyarakat Madat—seakan-akan kemerdekaan hanya milik segelintir, bukan lagi milik bersama.

Bahkan, wibawa upacara pun ternoda. Pembacaan teks Proklamasi yang mestinya dilakukan dengan penuh khidmat oleh pejabat negara, terpaksa diserahkan kepada seorang guru. Hal itu bukan soal siapa yang membacakan, melainkan simbol hilangnya penghormatan dari wakil rakyat terhadap sejarah yang melahirkan kursi empuk mereka di parlemen.

Di titik ini, publik Madat layak bertanya: jika pada 17 Agustus saja wakil rakyat memilih absen, lalu untuk apa mereka ada? Apakah mandat rakyat hanya berlaku saat kampanye dan pemilu, sementara di hari bersejarah rakyat, mereka bebas bersembunyi di balik alasan undangan?

Kemerdekaan bukan sekadar seremoni, melainkan penghormatan terhadap pengorbanan. Dan penghormatan itu layak ditunjukkan dengan hadirnya para pemimpin di tengah rakyat. Sayangnya, Madat justru harus menelan pahit: merdeka tanpa Proklamasi, dan tanpa wakil rakyat.

Redaksi

Post a Comment

Previous Post Next Post