MALAM itu, menyambut kedatangan kawan lama Halili Hasan, Direktur Setara Institute, satu lembaga swadaya masyarakat yang tekun mendorong toleransi dan inklusifisme. Bersama beberapa tokoh, kami berbincang di Rumah Alam Sungai Andai, di ruang perpustakaan penuh buku.
Pertanyaan pertama yang diajukan, hal apa paling mendasar yang mulai luntur bahkan khawatir hilang dari bangsa ini? Mengulas pertanyaan itu, kami ngobrol tentang berbagai hal, hingga kemudian mencari akar dari segala persoalan yang mulai luntur, hal tersebut merupakan modal yang begitu berharga, dan menjadi modal sosial bagi bangsa ini.
Modal sosial yang perlahan luntur tersebut adalah kejujuran. Dari kejujuran lahir kesetia kawanan, lahir solidaritas, kebersamaan, lantas lahirlah gotong royong, dan dari gotong royong itulah Pancasila dirumuskan.
Kejujuran bahkan menjadi prasyarat dalam membangun segalanya. Tanpa kejujuran, semua menjadi sia-sia, menjadi palsu dan tidak bermakna. Pragmatisme dan penghianatan, adalah anak kandung dari ketidak jujuran.
Kenapa segala hal, mulai dari politik, hukum, pemerintahan, dan bahkan agama, nampak seperti palsu. Atau kalau mau diperhalus, seolah tidak orisinil dan dipalsukan? Jawabnya, karena ketidak jujuran telah menyelimutinya, bahkan diproduksi agar menjadi pakem dalam praktik segala hal tersebut.
Tentu saja sangat merugikan, karena ketidak jujuran, harus ditutupi oleh ketidak jujuran lainnya. Lantas berkelindan, membesar, bergulir menjadi karakter, dan pada akhirnya menggerus melunturkan modal sosial yang sudah lama ditanamkan sejak dulu kala, oleh budaya dan agama.
Lantas, apa yang harus dilakukan agar modal sosial tersebut kembali pulih? Tidak ada cara, kecuali dengan menggiatkan kembali penanaman nilai-nilai Pancasila, lalu membudayakan gotong royong, membangun kebersamaan, solidaritas dan kesetiakawanan, pada akhirnya menanamkan kembali kejujuran sebagai modal dasar bagi segala hal.
Sekalipun tantangan sangatlah berat, sebab mulai diperkenalkan satu bentuk kebenaran palsu, hasil dari ketidak jujuran yang diproduksi berulang-ulang hingga menjadi viral, dan pada akhirnya menjelma menjadi kebenaran baru yang sesungguhnya palsu.
Melalui budaya dan agama, nilai kejujuran ditanamkan kembali sejak dini. Mulailah berkata, berprilaku, berbuat dan bertindak dilandasi kejujuran. Kalau tidak mampu berkata, berbuat dan berprilaku jujur, lebih baik diam. Mungkin dengan diam, lebih memberi manfaat. Sebaliknya bila mampu berkata, berprilaku, berbuat, dan bertindak jujur, maka lakukanlah, dengan itu kita akan membangun kembali modal sosial yang sudah mulai luntur.
Begitulah obrolan kami malam itu di rumah alam, obrolan yang sekedar menuangkan kegelisahan bersama, entah mulai dari mana modal sosial yang luntur tersebut harus dibangun kembali? (nm)
Post a Comment