Palu Pesanan yang Membunuh Nurani Hukum


Opini: Redaksi JMN

Putusan majelis hakim yang menjatuhkan vonis 4,5 tahun penjara kepada Thomas Lembong menyisakan aroma tak sedap dalam ruang peradilan negeri ini. Di atas kertas, publik mungkin diminta percaya bahwa palu yang diketok ketua majelis hakim Dennie Arsan Fatrika adalah simbol keadilan yang tegak lurus. Namun di balik semua itu, ada rasa getir yang sulit ditepis: apakah palu itu benar-benar suara hukum, atau jangan-jangan hanya pesanan yang harus dikirim cepat kepada pihak yang sedang berkuasa?


Kasus Tom Lembong sejak awal sudah penuh kontroversi. Ia dituding melanggar prosedur impor gula sehingga merugikan negara Rp 194 miliar. Tapi kalau kita telusuri secara jernih, yang terjadi justru lebih mirip pada pelanggaran administratif daripada perbuatan pidana korupsi yang sarat niat jahat (mens rea). Tom, dalam kapasitasnya sebagai menteri perdagangan saat itu, bertindak atas dasar kewenangan yang melekat pada jabatannya. Jika ada pelanggaran prosedur, harusnya diselesaikan dalam ranah administrasi atau perdata, bukan dibawa ke ranah pidana untuk kemudian dipukul dengan pasal-pasal korupsi yang sangat berat.


Inilah akar masalah yang membuat publik bertanya-tanya: ada apa sebenarnya di balik putusan ini? Apakah ada keinginan tersembunyi untuk “menghabisi” Tom dari percaturan publik? Apakah pengadilan sedang dimanfaatkan sebagai alat politik untuk membungkam suara yang dianggap berbeda?


Dennie Arsan Fatrika, sang ketua majelis hakim, memang memiliki riwayat panjang di dunia peradilan. Mulai dari hakim di Pengadilan Negeri Lubuk Basung, menjadi Wakil Ketua PN Bogor yang mendapat predikat Wilayah Bebas dari Korupsi (WBK), hingga kini menduduki kursi PN Jakarta Pusat. Bahkan harta kekayaannya pun tercatat rapi di LHKPN: Rp 192 juta di tahun 2008 melonjak jadi Rp 4,3 miliar pada 2024. Di atas kertas, semua terlihat normal. Tapi kita hidup di negeri yang terlalu sering diwarnai drama peradilan—drama di mana hakim kerap berubah menjadi pemain dalam sandiwara kekuasaan.


Kalau kita mau jujur, vonis 4,5 tahun kepada Tom bukanlah hal yang mengejutkan dalam sistem hukum yang sering goyah. Kita sudah berkali-kali melihat bagaimana hukum tumpul ke atas tapi tajam ke bawah. Banyak pejabat tinggi yang nyata-nyata menggarong uang negara triliunan rupiah, tapi divonis ringan atau bahkan bebas karena “tidak terbukti merugikan negara”. Sementara ketika giliran Tom—yang bahkan kerugiannya masih jadi perdebatan ahli—langsung dihajar dengan vonis yang terkesan dipaksakan.


Ini bukan sekadar soal satu orang bernama Thomas Lembong. Ini soal keadilan yang perlahan kehilangan arti. Ketika palu hakim sudah berubah menjadi palu pesanan, maka rakyat tidak lagi bisa berharap pada meja hijau untuk mencari kebenaran. Yang ada hanyalah arena transaksi, di mana hukum diperdagangkan layaknya komoditas, dan putusan dibuat bukan berdasarkan nurani, tapi sesuai pesanan siapa yang punya kuasa dan uang.


Kita tidak sedang mengatakan bahwa Dennie Arsan Fatrika pasti tidak netral. Tapi ketika sebuah putusan memicu kontroversi seluas ini, maka sang hakim dan seluruh lembaga peradilan wajib memberikan penjelasan yang lebih jujur kepada publik. Jangan hanya sembunyi di balik teks undang-undang sementara rakyat melihat jelas ada ketidakadilan yang telanjang di depan mata.


Palu pesanan adalah racun paling berbahaya bagi demokrasi. Ia tidak hanya merusak hukum, tapi juga membunuh kepercayaan rakyat pada negara. Kalau vonis terhadap Tom Lembong ini benar-benar pesanan, maka kita harus mengatakan dengan lantang: hukum kita sedang sakit parah, dan nurani peradilan sudah dimakamkan dengan palu hakim sebagai nisannya.


Post a Comment

Previous Post Next Post