Ribuan Petugas PPS Belum Terima Honor, KIP Aceh Timur Disorot Soal Dana Pilkada

Ribuan Petugas PPS Belum Terima Honor, KIP Aceh Timur Disorot Soal Dana Pilkada

JMNpost.com | Aceh Timur, – Ribuan petugas Panitia Pemungutan Suara (PPS) di Aceh Timur hingga kini belum menerima honor kerja mereka sejak Januari 2025. Padahal, mereka sudah aktif menjalankan tugas pilkada sejak awal tahun. Uang tidak dibayar. Suara tidak didengar. Dan yang paling ironis: anggaran Rp46,5 miliar sudah dialokasikan, tapi entah ke mana rimbanya.

Situasi ini menyeret sorotan tajam ke Sekretaris KIP Aceh Timur, berinisial SA. Ia dituding sebagai aktor utama kelalaian administratif yang menyebabkan lebih dari 3.000 petugas PPS di 513 gampong bekerja tanpa bayaran selama lima bulan.

“Ini bukan kelalaian biasa, ini pengkhianatan terhadap demokrasi,” tegas pemerhati sosial Aceh Timur, Dedi Saputra, SH., saat dimintai tanggapannya, Minggu (22/6/2025).

Dedi menilai, kelambatan pembayaran honor penyelenggara tingkat desa adalah bentuk pelecehan terhadap proses demokrasi yang sehat dan adil. Menurutnya, KIP Aceh dan KPU RI tak bisa tinggal diam. “Sekretaris KIP Aceh Timur harus dicopot dan diperiksa. Kalau ini ada unsur kesengajaan atau penyelewengan, ini sudah masuk ranah pidana,” ujarnya.

Kemarahan juga datang dari para PPS sendiri. Mereka merasa dipermainkan. Pada awal Mei 2025, perwakilan dari 18 kecamatan bahkan sudah menyampaikan keberatan dalam audiensi resmi. Tapi janji yang mereka terima hanya sebatas suara kosong.

“Kami bukan sukarelawan. Kami bekerja sesuai undang-undang. Tapi gaji kami dianggap angin lalu. Ini penghinaan,” ujar salah satu anggota PPS yang meminta identitasnya dirahasiakan demi keamanan.

Jumlah yang terdampak tidak kecil: 3.078 PPS yang tersebar di seluruh Aceh Timur. Mereka bekerja setiap hari, melakukan verifikasi data pemilih, koordinasi dengan PPK, bahkan persiapan logistik dan tahapan awal pilkada. Tapi hingga kini, sepeser pun belum diterima.

Di tengah tekanan itu, jawaban dari SA justru memperkeruh suasana. Ketika dikonfirmasi, SA mengatakan, “Honor masih menunggu perubahan anggaran. Mungkin cair Juli atau Agustus, setelah dana dari provinsi diserahkan ke pemkab.”

Pernyataan itu menuai reaksi keras. Bagi publik, alasan klasik seperti “menunggu transfer” adalah narasi lama yang sudah basi. Uang Rp46,5 miliar itu statusnya dana hibah—bukan ilusi. Jika memang belum tersedia, mengapa PPS sudah direkrut dan bekerja sejak Januari?

Pertanyaan tajam pun mulai menyeruak:

  • Apakah dana hibah itu sudah dicairkan sebagian?
  • Jika ya, ke mana pos alokasi awalnya digunakan?
  • Siapa yang bertanggung jawab atas kelambatan ini?
  • Dan kenapa baru sekarang bicara soal “perubahan anggaran”?

Menurut Dedi, jawaban SA justru memperlihatkan kelemahan mendasar dalam manajemen keuangan KIP Aceh Timur. “Kalau dana sebesar itu saja tidak mampu dikelola dengan transparan, jangan-jangan ada kebiasaan buruk yang sudah sistemik di lembaga ini,” ujarnya tajam.

Ia juga meminta aparat penegak hukum—baik kejaksaan maupun kepolisian untuk tidak menunggu gaduh lebih lama. Audit dana hibah harus segera dilakukan. Bila perlu, BPK dan Inspektorat turun tangan langsung memeriksa laporan penggunaan anggaran sejak Januari 2025.

“Jangan tunggu laporan masuk dulu baru gerak. Ini soal uang negara dan hak rakyat. Jika tidak ada tindakan, maka negara sedang melindungi ketidakadilan,” pungkasnya.

Keterlambatan pembayaran honor PPS bukan lagi sekadar urusan administrasi. Ini telah menjelma menjadi krisis kepercayaan terhadap KIP Aceh Timur sebagai penyelenggara pemilu.

Jika tubuh lembaga ini tak segera dibersihkan dari kelalaian, maka Pilkada 2024 di Aceh Timur terancam digelar di atas ketidakadilan dan kemunafikan birokrasi.

Post a Comment

Previous Post Next Post