Penderitaan Tak Terlihat: Perjuangan Larissa Melawan ME/CFS

Diperkirakan 17 juta orang di seluruh dunia hidup dengan ME/CFS.


Mereka Berjuang Keras untuk Hidup

Namun, hampir tidak ada yang dapat dilakukan untuk melawan penyakit kronis ini. Saat Larissa (nama samaran) bertemu dengan teman-temannya, dia menyetel alarm terlebih dahulu.

20 menit saja waktunya. Jika dia terus beraktivitas atau berada di luar batas waktu yang sudah dia tentukan, dia merasa seperti mengalami kehancuran emosional atau fisik yang sangat besar. Perasaan itu begitu berat hingga dia menyamakannya dengan perasaan "seperti menghadapi mati". Jika aktivitasnya berlebihan, orang dengan ME/CFS bisa pingsan berkepanjangan.

Begitu lelahnya sehingga mereka tidak dapat menjalani kehidupan normal. Lebih dari separuh dari mereka yang terkena penyakit ini tidak dapat lagi bekerja.

Larissa menghabiskan sebagian besar harinya dengan berbaring. Di ruangan gelap, dengan penyumbat telinga dan penutup mata. Setelah tiap aktivitas, ia butuh istirahat 30 hingga 45 menit.

Bangun – istirahat.
Pergi ke toilet – istirahat.
Sikat gigi – istirahat.
Makan – istirahat.

Ketika dia baru-baru ini mandi selama 15 menit, dia pingsan selama lima hari setelahnya.

Apa Itu ME/CFS?

ME/CFS adalah singkatan dari Myalgic Encephalomyelitis/Chronic Fatigue Syndrome. Penyakit neuroimunologi yang sering menyebabkan kecacatan fisik yang parah. Penderitanya mengalami nyeri, kram otot, masalah kardiovaskular, hingga kesulitan tidur. Duduk atau berdiri tegak pun sulit.

Otak juga tidak bekerja dengan baik. "Pikiranku hilang begitu saja dari kepalaku," ujar Larissa. "Aku tidak akan bisa menemukannya lagi."

Di usia awal 30-an, Larissa hanya bisa membaca buku anak-anak dengan huruf besar dan banyak gambar. Baginya, berpikir saja sudah terasa berat.

Bagaimana ME/CFS Muncul?

ME/CFS biasanya muncul setelah infeksi, seperti demam kelenjar atau flu. Dalam kasus Larissa, ini dimulai dari long COVID-19. Setelah terinfeksi, dia merasa seperti bergerak di air. Bernapas menjadi sulit, berdiri jadi tantangan, menonton TV melelahkan.

Nyeri otot, nyeri sendi, nyeri saraf, sakit kepala, gangguan tidur, tinnitus, mual, hingga masalah berjalan. Larissa beralih dari satu dokter ke dokter lain tanpa hasil.

Larissa sekarang menggunakan kursi roda. Stres ringan saja memperburuk gejalanya – dikenal sebagai malaise pasca-olahraga (PEM). Baginya, menggosok gigi sudah terasa seperti berlari mendaki gunung.

Antara Hidup dan Mati

Membuat keputusan, merencanakan, atau merasakan sesuatu adalah bagian dari kehidupan. Namun bagi Larissa, tubuhnya hanya mampu berbaring dalam diam.

"Sebenarnya semua yang saya lakukan adalah perjuangan,” kata Larissa. “Tetapi saya terus kalah dalam pertarungan ini."

Bahkan kebersihan pribadi adalah perjuangan. Larissa harus memilih antara membersihkan diri atau menghadapi PEM. Hidupnya kini adalah serangkaian pilihan yang berat.

"Jika saya memutuskan untuk menjalani eutanasia, itu bukan karena saya ingin mati. Itu karena cinta terhadap kehidupan," ujarnya.

Memahami ME/CFS

ME/CFS telah diakui sejak 1969, namun masih sering disalahpahami sebagai penyakit psikologis. Padahal, penelitian menunjukkan bahwa penyakit ini terkait gangguan sirkulasi darah dan respon imun yang salah arah.

"Pada ME/CFS, aliran darah terganggu," jelas Carmen Scheibenbogen, ahli terkemuka di Charité Fatigue Center, Berlin.

Banyak penelitian tengah menguji potensi terapi baru, namun pengobatan efektif masih jauh dari jangkauan.

Pertarungan Panjang untuk Perhatian

Bagi pasien seperti Larissa, pengakuan dan pemahaman adalah hal yang penting. Hingga saat ini, ME/CFS adalah penyakit yang paling disalahpahami.

"Kami dibuat tidak terlihat," kata Larissa.

Dan pada 12 Mei, Hari ME/CFS Internasional, suara mereka menggema – menuntut perhatian untuk sebuah penyakit yang tak kasat mata, tapi sangat nyata.



Sumber artikel by DW

Post a Comment

Previous Post Next Post