JMNpost.com | Aceh Timur – Di negeri birokrasi yang gemar merayakan seremoni, wacana seringkali lebih gemuk daripada realisasi. Seperti itulah kira-kira gambaran mengenai kegiatan Balai Latihan Kerja (BLK) Aceh Timur yang digembar-gemborkan sejak Februari 2025, namun hingga menginjak Mei, belum juga menunjukkan wujudnya.
Padahal, menurut informasi dari para geuchik, nyaris seluruh desa telah menyetor dana sebesar Rp5 juta untuk dua peserta per desa. Anggaran ini, katanya, demi meningkatkan kapasitas. Tapi yang meningkat justru adalah kecurigaan publik.
Dedi Saputra, SH seorang pemerhati sosial di Aceh Timur menyatakan bahwa ada sesuatu yang ganjil.
"Kalau desa-desa sudah menyetor, dan kegiatan belum jalan, kita patut bertanya: ini kegiatan pelatihan, atau latihan memanipulasi anggaran?" ujarnya pedas, Minggu (4/5/2025).
Ia menambahkan, jika dugaan adanya oknum yang menjadikan kegiatan ini sebagai lahan bancakan terbukti, maka sudah semestinya aparat penegak hukum turun tangan.
“Kita tidak bicara spekulasi, tapi tentang logika: uang sudah ada, peserta sudah siap, tapi panggungnya belum dibuka. Maka lakonnya patut dicurigai,” lanjut Dedi.
Salah satu geuchik yang enggan disebutkan namanya mengaku telah menyetor Rp5 juta kepada oknum ketua forum geuchik kecamatan. Bahkan, desa juga dibebani biaya uang saku peserta sebesar Rp3 juta.
“Totalnya Rp8 juta. Kami bayar bukan untuk janji, tapi untuk realisasi,” ucapnya getir.
Yang membuat publik makin heran: kegiatan dikabarkan akan dilaksanakan di Kota Langsa, bukan di Aceh Timur. Ini seperti menjanjikan pelatihan di rumah sendiri, tapi mengantar pesertanya ke rumah orang.
Ketika dikonfirmasi, Ketua APDESI Aceh Timur, Syamsuar, SE (Keuchik Wan) mengeluarkan pernyataan yang justru menambah lapisan absurditas.
“Sebagian besar gampong masih menunggu perubahan APBG karena dana kegiatan tidak tercantum di dalamnya. Tapi bagi desa yang sudah menyetor, kita harap pelaksana segera menjalankan tugasnya. Saya sendiri tidak tahu terlalu jauh soal kegiatan ini,” ujarnya enteng.
Pernyataan ini seolah ingin mengatakan: ketidaktahuan adalah pembelaan. Padahal publik tidak butuh narasi ketidaktahuan, melainkan transparansi dan akuntabilitas. Sebab dalam logika publik, ketika uang sudah berpindah tangan, maka tanggung jawab sudah mulai berjalan.
Kini masyarakat bertanya-tanya: apakah kegiatan BLK ini benar-benar untuk pemberdayaan, atau sekadar proyek kamuflase dari birokrasi yang lihai bermain bayangan.
Post a Comment