Ayah, Aku Ingin Berjalan: Kisah Hafizul yang Tak Pernah Mendengar Kata Sembuh

JMN

Features:

oleh: Arif Firdaus

Hafizul Abrar terbaring lemah di atas ranjang reyot yang menjadi satu-satunya tempatnya mengenal dunia. Bocah sebelas tahun itu bukanlah anak biasa. Tubuhnya kecil, kurus, dan tak berdaya. Mata sayunya hanya bisa menatap kosong pada langit-langit rumah, sementara bibir mungilnya tak mampu mengucapkan sepatah kata pun. Sejak lahir, Hafizul telah terjerat oleh keterbatasan. Ia tidak bisa berbicara, tidak bisa berjalan, dan bahkan untuk tersenyum pun terasa sulit baginya.

Di sudut rumah kayu yang hampir roboh itu, Saifuddin, ayah Hafizul, duduk dengan wajah lesu. Tangannya yang kasar menggenggam jemari putranya, seolah berharap kehangatan bisa mengalir dari tubuhnya yang letih ke tubuh Hafizul yang lemah. Saifuddin adalah seorang buruh tani, bekerja di sawah milik orang lain setiap musim tanam. Penghasilannya hanya cukup untuk membeli beras dan lauk seadanya. Namun, biaya pengobatan Hafizul jauh di luar jangkauannya.

"Saya pernah membawanya ke pengobatan, tapi belum ada hasil. Uang saya habis untuk biaya itu," suara Saifuddin bergetar, air mata hampir tumpah. Di balik kegetiran itu, ada cinta seorang ayah yang tak kenal lelah.

Saifuddin bukanlah orang yang tidak berusaha. Setiap pagi, ia bangun lebih awal, berangkat ke sawah dengan harapan mendapat sedikit rezeki. Setiap butir padi yang ia tanam adalah harapan, setiap tetes keringat adalah doa. Tapi, Hafizul tetap terbaring, diam dalam sunyi.

Beberapa tahun lalu, Abdullah bin Amin, seorang anggota DPRK Aceh Utara dari Fraksi Partai Aceh, pernah memberikan bantuan kursi roda untuk Hafizul. Kursi roda itu kini terletak di sudut ruangan, berdebu, nyaris tak terpakai. Hafizul terlalu lemah untuk duduk di sana, bahkan untuk menikmati udara segar di luar.

"Bantuan kursi roda pernah kami terima dari Pak Abdullah bin Amin, tapi biaya pengobatan belum pernah ada," ucap Saifuddin, menahan tangis. Baginya, kursi roda hanyalah simbol harapan yang sempat datang, namun tak pernah benar-benar mengubah hidup.

Saifuddin berharap Pemerintah Kabupaten Aceh Utara atau para dermawan bisa membantu pengobatan Hafizul. Ia tidak meminta banyak. Ia hanya ingin melihat Hafizul tersenyum, mendengar anaknya menyebut kata "Ayah" meskipun hanya sekali. Namun impian itu terasa semakin jauh, setiap kali ia melihat tubuh lemah Hafizul yang tak pernah berubah.

"Saya hanya ingin dia sembuh, itu saja," lirih Saifuddin, memeluk Hafizul yang terbaring. Air matanya jatuh di pipi sang putra, menyatu dengan keringat yang menetes dari dahinya.

Rumah kecil itu menjadi saksi bisu penderitaan mereka. Dindingnya yang lapuk seakan mencerminkan nasib keluarga Saifuddin, yang terus tergerus oleh kemiskinan dan ketidakberdayaan. Namun di tengah keputusasaan, Hafizul tetap bertahan. Dalam diamnya, ada kekuatan yang tak terlihat.

Di luar rumah, angin berhembus membawa suara desir dedaunan. Tapi bagi Hafizul, dunia hanya selebar ranjangnya. Dunia yang dingin, sepi, namun masih memiliki seberkas cahaya harapan dari cinta seorang ayah.

Post a Comment

Previous Post Next Post