Refleksi Memperingati Hari Buruh 2025 : Pengusaha, Sadarlah..!

Oleh :
T.M. Jamil, Dr, Drs, M.Si
Associate Professor, 
Ilmuwan Sosial - pada Sekolah Pascasarjana USK, Banda Aceh.

JMNpost.com | INILAH realitasnya di sekitar kita. Di Indonesia yang mahal itu gaya hidup orang kaya. Mereka bisa menghabiskan miliaran rupiah untuk sebuah pesta perkawinan atau belanja barang mewah di mall (plaza) hanya dalam hitungan menit. Sedangkan yang murah adalah upah buruh, yang harus hidup pas-pasan sejak zaman kolonial. Biaya produksi dan persaingan bisnis adalah alasan yang selalu muncul dibalik upaya mementahkan tuntutan kaum buruh. Misinya adalah tuntutan buruh untuk hidup sejahtera dan layak tak boleh dipenuhi karena bisa dan membahayakan keberlangsungan perusahaan.

Dengan kata lain, suka atau tidak, kaum buruh harus mau hidup, tak jauh dari kemiskinan absolut. Lihat saja kehidupan seorang buruh di Banda Aceh dengan seorang istri dan dua anak. Bila dia berpenghasilan sesuai upah minimun provinsi yaitu Rp. 3,64 juta per bulan, pendapatan per kapita keluarganya adalah sekitar Rp. 910 ribu rupiah per bulan atau Rp. 30 ribu rupiah per hari. Inilah fenomena di Indonesia, khususnya dalam data dan realita.

Untuk diketahui dalam berbagai informasi dan sumber yang bisa diikuti, garis kemiskinan di Banda Aceh adalah Rp. 593.108 per bulan atau Rp. 19,7 ribu rupiah per hari. Maka mereka cuma bisa menabung sekitar Rp. 10 ribu per hari. Itu pun jika bisa dan mau untuk dilakukan. Kebetulan saya tak punya data untuk kota lain di Aceh. Perlu juga dicatat, banyak buruh di sektor formal seperti pelayan toko atau restoran, bernasib sama dengan mereka yang di sektor informal. Mereka harus hidup dengan bayaran di bawah upah minimun yang resmi. Upah mereka ditentukan oleh perhitungan pribadi majikan, tanpa perduli pada peraturan resmi yang berlaku. Nah, bagaimana pula dengan kondisi di berbagai kabupaten dalam provinsi Aceh saat ini?

Jam kerja mereka juga tak menentu, bahkan bisa jauh lebih panjang dari peraturan yang berlaku. Sialnya, sementara itu kekayaan kaum berduit terus bertumpuk. Menurut Forbes, total kekayaan 50 orang terkaya di Indonesia dalam beberapa tahun terakhir ini mencetak rekor baru. 

Kekayaan mereka naik tiga miliar dolar AS dibandingkan tahun lalu menjadi 129 miliar dolar AS. Ini menunjukkan bahwa perjuangan kaum buruh untuk memperbaiki nasib masih harus lebih keras. Sebab, meski sering berlagak seperti sinterklas, jangan berharap kaum berduit ini rela berbagi kesejahteraan secara serius.

Tekanan demi tekanan harus diluncurkan baik melalui jalur politik maupun aksi jalanan atau media sosial. Menurut saya, Abaikan saja tudingan bahwa gerakan kaum buruh ditunggangi oleh pihak ketiga. Tudingan itu hanya bentuk ketidakberdayaan diri penguasa dan pengusaha dalam merespon dan memenuhi kebutuhan hidup buruh yang seharusnya diperhatikan.

Bukankah buruh juga manusia yang butuh untuk menjalani hidup yang normal. Yang penting adalah selalu fokus pada perbaikan kesejahteraan. Ingat, jika buruh bersatu tak bisa dikalahkan oleh siapapun. Maka hargailah pengorbanan dan kebaikan hati buruh yang telah lama berkorban untuk kekayaan dan kesejahteraan hidupmu wahai para pengusaha, Sadarlah ... Camkanlah... !!!


Serambi Mekkah, Rabu, 30 April 2025

Post a Comment

Previous Post Next Post