Opini
Oleh: Fahmi
Kejujuran, hari ini, bukan lagi nilai. Ia justru jadi kelemahan. Karena jujur berarti membahayakan sistem yang dibangun di atas kebohongan. Maka, orang jujur tidak diundang dalam pesta kekuasaan—ia dibuang, dituduh, bahkan dimusnahkan secara perlahan.
Sementara itu, munafik justru diundang ke barisan depan. Ia tak perlu punya integritas, cukup lihai bersilat lidah. Lalu berdirilah ia di podium, pura-pura peduli, penuh dalih moralis, sambil diam-diam menghitung amplop di saku jas-nya.
Yang paling ironis adalah ini: si jujur membangun sistem. Ia merancang dengan nurani, ia bekerja tanpa pamrih, ia tahan godaan. Tapi justru ketika sistem itu mulai berjalan, datanglah si munafik. Ia tahu bahwa sistem yang dibangun dengan idealisme itu adalah sumber kehidupan. Maka ia mulai menyusup, lalu mencoba merebutnya. Bukan untuk menjaganya, tapi untuk mengeksploitasinya. Sistem yang tadinya dibangun dengan keringat dan air mata, berubah jadi ladang kekuasaan yang siap dipanen dengan manipulasi.
Inilah zaman ketika benalu tumbuh subur di tubuh negara. Mereka menyedot sari dari akar-akar yang jujur bekerja, lalu dengan pongah berkata, “Saya yang paling peduli.” Padahal kepeduliannya hanya pada rekening pribadi.
Lucunya, orang baik selalu salah. Karena orang baik tidak bisa menyuap. Ia bicara apa adanya. Dan justru karena itulah ia dianggap ancaman. Padahal, kalau logika masih sehat, orang jujur mestinya diberi tempat, bukan dijebloskan ke pinggir.
Tetapi logika hari ini bukan alat berpikir. Ia hanya hiasan di pidato. Yang dipakai adalah logika transaksional. Siapa bisa kasih untung, dia kawan. Siapa yang bicara benar, dia musuh. Maka benarlah apa yang dikatakan orang bijak: di negeri yang rusak, kebenaran adalah bentuk perlawanan.
Dan lihat siapa yang paling vokal menyingkirkan orang baik? Bukan lawan, tapi kawan yang pura-pura peduli. Ia datang dengan senyum, tapi menusuk dari belakang. Ia bicara soal moral, tapi hidup dari memeras. Dia munafik, tapi dielu-elukan karena lihai membungkus kebusukan dengan retorika.
Celakanya, masyarakat sering lupa membedakan antara pencitraan dan kejujuran. Mereka yang tampil rapi, bicara santun, dianggap pahlawan. Padahal kakinya berdiri di atas bangkai integritas yang ia kubur sendiri. Sementara mereka yang bersuara lantang, dianggap pengganggu. Padahal, mungkin dialah satu-satunya yang masih waras.
Zaman memang edan. Tapi membiarkan keedanan ini terus berlangsung, itu bukan takdir, itu pilihan. Pertanyaannya: kita pilih diam, atau bicara?
Karena kalau kita diam, yang menang adalah mereka yang seharusnya dipenjarakan. Dan mereka yang mestinya memimpin, malah disingkirkan, dituduh, bahkan dihabisi karakternya.
Negeri ini tak kekurangan orang pintar. Yang langka justru orang jujur yang diberi panggung. Karena saat orang jujur bicara, banyak kepentingan yang gemetar. Maka muncullah seribu cara untuk membungkamnya—fitnah, intimidasi, bahkan sabotase dari dalam.
Tapi sejarah selalu berpihak pada yang konsisten. Munafik bisa menang hari ini, tapi ia tak bisa menipu waktu. Karena waktu akan membuka topeng, satu per satu. Dan saat itu tiba, masyarakat akan tahu: siapa pemimpin, siapa pemeras.
Sementara kita, yang masih percaya bahwa kejujuran bukan ilusi, harus terus menulis, bicara, dan berdiri. Sekalipun sendirian. Karena kadang, suara satu orang jujur lebih mengguncang daripada teriakan seribu pengecut.
Post a Comment